Assalamu`alaikum,,
Kematian hampir setiapsaat terjadi disekeliling kita, Seakan tak mengenal belas kasihan,terus-menerus merenggut nyawa kehidupan manusia tanpa pandang bulu. Sungguh Kematian merupakan misteri. Hakikat kematian tak sepenuh`y dapat dijelaskan.
Lalu timbul pertanyaan, Mengapa kita hidup? Dan mengapa kemudian kita mati? Tak dpat diterang`n & dijelas`n secara "emperis"
Dlam Al-Qur`an kita menemukan bnyak info tntang kematian. Tak kurang dr 175 ayat mbahas mslah ini.
Bagi sebagian orang, Kematian memang merupakan "momok" yg sangat menakutkan. Hal ini boleh jadi karenayg brsangkutan tdak siap menghadapi kematian dan kehidupan setelah kematian itu. Atau karena ia terlalu berat berpisah dengan orang2 yg selama ini dicintai.
Namun, bagi orang2 tertentu, kematian justru merupakan sesuatu yang sangat dirindukan. Bahkan mereka memandang kematian itu sebagai kemenangan dan keberuntungan. Mengapa? Hanya dengan kematian, mereka dapat menemukan kehidupan yang sungguh sangat sejati dan abadi.
Wa Allah A`lam!
Wassalamu`alaikum,,,
Sigit Purwoko Nugroho (Sigit Cool)
Sabtu, 12 Desember 2009
,,,~"Kristenisasi Dan Kejahatannya"~,,,
Ketika Orde Baru jaya, banyak para pejabat yang tidak percaya adanya kristenisasi besar-besaran yang telah terjadi di Indonesia. Tetapi setelah dikeluarkan buku Fakta dan Data tentang kristenisasi di Indonesia oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, semua pihak terperangah dan yakin bahwa pihak misionaris zending telah bekerja keras siang-malam untuk mengkristenkan umat Islam secara khusus.
Pada Orde Reformasi mereka semakin berani melakukan kristenisasi secara terbuka bahkan keji. Mereka menggunakan Al-Qur`an dan Hadits dengan diputarbalikkan untuk membenarkan ajaran sesat mereka, dan untuk mengelabui umat Islam. Gerakan kristenisasi bergerilya dengan kedok dakwah ukhuwwah dan shirathal mustaqim secara gencar dan tersembunyi, gerakan itu dikoordinasi oleh Yayasan NEHEMIA yang dipelopori Dr. Suadi Ben Abraham, Kholil Dinata
dan Drs. Poernama Winangun alias H. Amos.
Mereka telah mengeluarkan beberapa buku di antaranya:
1. Upacara Jama`ah Haji
2. Ayat-ayat yang menyelamatkan
3. Isa `alaihis salam dalam pandangan Islam
4. Riwayat singkat pusaka peninggalan Nabi Muhammad saw
5. Membina kerukunan umat beragama
6. Rahasia jalan ke surga
7. Siapakah yang bernama Allah itu?
Isi buku-buku dan brosur tersebut di atas di antaranya:
~· Upacara Ibadah Haji adalah penyembahan berhala tertutup
~· Islam agama khusus untuk orang Arab, Al-Qur`an kitab suci orang Arab dan Nabi Muhammad SAW. adalah nabi untuk orang Arab yang mengajarkan penyembahan berhala dan tidak akan selamat di akhirat
~· Tuhan orang Islam adalah batu hitam (hajar aswad)
~· Waktu sholat sangat kacau dan Al-Qur`an tidak relevan
~· Nabi Muhammad saw memperkosa gadis dibawah umur
~· Al-Qur`an untuk Iblis, Injil petunjuk bagi umat Islam yang taqwa
~· Bapaknya Yesus adalah Allah subhanahu wa ta`ala
~· Semua umat masuk Neraka kecuali umat Kristen
~· Nabi Muhammad saw wafat mewariskan kitab Injil
~· Khadijah, istri Nabi Muhammad saw beragama kristen
Sanggahan terhadap tuduhan-tuduhan keji tersebut:
~· Ibadah Haji dituduh sebagai penyembahan berhala tertutup, itu tuduhan keji. Tidak bolehnya orang non muslim ke Mekkah bukan untuk menutupi upacara ibadah haji. Dan ibadah haji itu tidak ada penyembahan berhala seperti dituduhkan H. Amos orang Kristen. Namun itu perintah langsung dari Allah swt yang artinya:Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.(Q.S. At-Taubah: 28). Tuduhan itu juga bertentangan dengan kenyataan, karena upacara ibadah haji ditayangkan pula ke berbagai negara di dunia lewat televisi. Terbukti tak ada penyembahan berhala dalam upacara ibadah haji dan tidak tertutup.
~· Nabi Muhammad SAW. dituduh hanya rasul untuk bangsa Arab, dan tidak akan selamat di akhirat. Tuduhan itu sangat jahat, karena Allah swt telah menegaskan dalam Al-Qur`an yang artinya: Dan Kami tiada mengutusmu (Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi semesta alam. (Q.S. Al-Anbiya:107). Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk seluruh manusia sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(Q.S.Saba`:28). Al-Qur`an adalah suatu peringatan untuk semesta alam. (Q.S. At-Takwir 27 dan Al-Qalam 52). Dan Kami turunkan Al-Qur`an kepadamu (Muhammad) supaya engkau jelaskan umat manusia, apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berpikir. (Q.S. An-Nahl 44). Muhammad bukanlah bapak salah seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al- Ahzab 40)
~· Tuduhan tentang Nabi Muhammad saw tidak selamat di akhirat, maka harus dibacakan sholawat, itu tuduhan keji pula.
Bisa diperbandingkan dengan keadaan bahwa bayi yang meninggal dunia pasti selamat akan masuk surga. Namun bayi yang meninggal itu tetap disholati dan didoakan. Orang yang mensholati, mendoakan dan menguburkan mayit bayi ini akan mendapat pahala. Terhadap bayi yang belum berjasa saja harus didoakan, apalagi terhadap seorang Nabi saw, yang telah sangat berjasa bagi umat manusia. Ini sudah pas dari segi ajaran agama maupun akal yang mau menerimanya
~· Tuduhan bahwa Islam mengajarkan penyembahan berhala batu hitam bernama Hajar Aswad, itu tuduhan yang amat keji dan licik. H. Amos memutarbalikkan fakta, Hajar Aswad dianggap sebagai berhala yang disisakan setelah 359 berhala dihancurkan, dengan mengutip hadits Bukhori tanpa disertai teksnya. Ternyata H. Amos sebagai orang Kristen bohong, karena Hajar Aswad bukan termasuk berhala. Teksnya Hadits Bukhari nomor 832, terjemahnya: Dari Ibnu `Abbas ra katanya: Ketika Rasulullah saw mula-mula tiba di Makkah, beliau enggan hendak masuk Ka`bah karena di dalamnya banyak patung. Beliau memerintahkan supaya mengeluarkan patung-patung itu, maka dikeluarkan mereka semuanya termasuk patung Nabi Ibrahim dan Isma`il yang sedang memegang Azlam (alat untuk mengundi).
Melihat itu Rasulullah saw bersabda:
“Terkutuklah orang yang membuat patung itu!, Demi Allah sesungguhnya mereka tahu bahwa keduanya tidak pernah melakukan undian dengan Azlam, sekali-kali tidak.”
Kemudian beliau masuk ke dalam Ka`bah, lalu takbir di setiap pojok dan beliau saw sholat di dalamnya. (Shahih Bukhari No. 832)
~· Tuduhan tentang waktu sholat sangat kacau, itu tuduhan yang sangat mengada-ada. Penuduh membentrokkan ayat-ayat dengan hadits Bukhari tanpa mau memahami Q.S. Al-Isra 78 dan Q.S. Hud 114, dibentrokkan dengan hadits Bukhari nomor 211, lalu dikomentari bahwa yang dipakai hadits, bukan Al-Qur`an. Maka dituduh kacau. Padahal kalau mau memahami, ayat-ayat maupun hadits tersebut semuanya bermakna bahwa sholat wajib adalah 5 waktu sehari semalam, yaitu Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib, dan `Isya.
~· Nabi Muhammad saw dituduh memperkosa gadis dibawah umur, itu tuduhan yang sangat menghina. Tuduhan itu hanya menunjukkan kebencian yang amat sangat, dan tidak bisa mengemukakan bukti-bukti larangan tentang menikahi gadis dalam batasan umur. Padahal umur 9 tahun seperti `Aisyah yang mulai diajak berumah tangga oleh Nabi saw. setelah dinikahi pada umur 6 tahun, itu tidak ada larangan. Sedangkan gadis-gadis Arab-pun dalam usia 9 tahu sudah mungkin sekali haid, berarti dewasa. Jadi tuduhan itu hanyalah kebencian yang membabi buta.
Tuduhan-tuduhan lain yang mereka lontarkan terhadap Islam sifatnya sama; hanyalah kebencian dan kebohongan belaka. Orang-orang yang mau berpikir pasti paham bahwa tuduhan-tuduhan mereka itu menunjukkan betapa rendahnya moral mereka.
Tiga Serangkai Musuh Islam Kristenisasi
Orientalisme dan Penjajahan menjadi tiga serangkai, yang tidak dapat dipisahkan. Masing-masing mempunyai tugas untuk menghancurkan umat Islam.
Kristenisasi bertugas untuk merusak aqidah; orientalisme memporak-porandakan pemikiran Islam; dan penjajahan, melumpuhkan fisik.
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. (Q.S. At-Taubah 32) Tujuan utama missionaris Zending adalah menyeret orang-orang Islam ke Kristen. Jika hal itu sulit dilakukan, maka akan ditempuh dengan upaya bagaimana cara mengaburkan pengertian Islam bagi kaum muslimin. Misionaris bertindak sebagai antek-antek dan mata-mata penjajah Barat demi merusak kesatuan Islam. Tujuan itu diperjelas oleh Pendeta Simon, bahwa misionaris adalah faktor penting sebagai penghancur kekuatan persatuan umat Islam.
Negara yang pertama kali mengembangkan kristenisasi adalah Belanda, yang pernah menjajah Indonesia dan memecah Jawa menjadi kawasan-kawasan yang dibangun untuk gereja dan sekolahan. Kemudian langkah tersebut diikuti oleh negara Eropa lainnya.
Memperkosa dan Memurtadkan
Kejahatan kristenisasi itu, kini dilengkapi dengan kenyataan kristenisasi yang sangat menghina umat Islam, yaitu memperkosa muslimah murid Madrasah Aliyah di Padang yang selanjutnya dimurtadkan. Khairiyah Enisnawati alias Wawah (17 thn) pelajar Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Gunung Pangilun, Padang, Sumatera Barat adalah salah satu dari 500 orang Minang yang dimurtadkan. Gadis berjilbab itu diculik, diperkosa dan dipaksa keluar dari agamanya lewat misi rahasia yang dijalankan sekelompok orang Kristen, di rumah Salmon seorang Jemaat Gereja Protestan di Jl. Bagindo Aziz Chan, Padang tempat memaksa Wawah untuk membuka jilbab dan masuk Kristen. Gereja itu dipimpin Pendeta Willy, sedang Salmon adalah jemaat yang juga karyawan PDAM Padang. (lihat Dialog Jumat, 6 Agustus 1999). Dengan aneka kelicikan, kebrutalan dan bahkan pemerkosaan seperti tersebut di atas, jumlah orang Kristen di Indonesia makin menanjak secara drastic. Dari hanya 2,8% pada tahun 1931 menjadi 7,4% pada 1971 dan hampir 10% pada 1990. Kebrutalan dan kebiadaban mereka itu menimbulakan aneka konflik pula secara bertubitubi. Diantaranya kerusuhan antara Muslimin dan Nasrani di Dili Timor Timur (1994), Maumere NTT (1995), Surabaya dan Situbondo Jatim (1996), Tasikmalaya (1997), Ketapang dan Kupang, serta Ambon dan Sambas (1999). (Ibid. hal 4) Pertemuan 300 pimpinan gereja dari 50 negara di Singapura, Januari 1989, kemudian pada 6 Januari 1991 dilancarkan apa yang disebut Dekade Evangelisasi, yakni Manifestasi Kristus kepada gentiles (non Kristen). Berdasarkan interpelasi angka Gereja dari 5.100.000.000 penduduk dunia dewasa ini, orang Kristen berjumlah 1.665.000.000. Berarti ada sekitar 3.435.000.000 penduduk dunia yang harus dikristenkan, menurut mereka. (Media Dakwah, Agustus 1999, hal. 16) Dari memperkosa muslimah lalu memurtadkan, sampai mengamen di bus-bus kota dengan lagu Gerejani telah mereka gencarkan. Maka benar dan terbuktilah firman Allah swt: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. (Q.S. Al-Baqarah 120).
Apa upaya kita dalam menghadapi kejahatan kristenisasi?
Selasa, 03 November 2009
Anda Ingin Shalat Khusyuk?
Ingin Khusyuk?
Hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, ''Shalluu kamaa ra-aytummuni ushalli (shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat).''
Sayang, pengertian dari hadis tersebut baru sebatas wilayah fikih saja. Karena berbagai alasan, shalat acapkali hanya sekadar pelepas kewajiban belaka.
''Padahal shalatnya nabi itu adalah shalat yang bersih dari kedengkian, shalat untuk mengaplikasikan dalam hidup, shalat untuk menciptakan ukhkhuwwah, shalat untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah, red),'' kata Pimpinan Pondok Pesantren Modern Lembah Arafah Cisarua, Bogor, KH Anwar Sanusi.
Kepada Republika, kiai yang aktif memberi ceramah agama di layar televisi ini mengingatkan pentingnya pemahaman shalat untuk mencapai kekhusyukan. Berikut ini petikannya:
Menurut definisi Anda, apa yang dimaksud dengan shalat khusyuk?
Khusyuk artinya tertuju, tidak terpecah-pecah. Kalau khusyuk dalam shalat artinya tujuan hidup kita setelah shalat itu hanyalah untuk Allah. Itu sebabnya waktu shalat apa yang kita praktekkan nanti dibaca dalam shalat. Dan Allah menyaksikan. Shalat itu kan apel rutin kita kepada Allah. Konsekuensi kita kepada Islam adalah taslim (penyerahan, red), ya pada waktu shalat itu. Makanya kalau setelah shalat tidak mengamalkan apa yang kita baca berarti shalat apa itu?
Khusyuk dan tidaknya shalat, berada pada wilayah sufi. Bahwa shalat itu ada para wilayah fikih, iya, tapi dia juga masuk dalam wilayah tasawuf.
Kalau yang fikihnya saja benar, tapi yang sebelahnya tidak benar, maka shalatnya benar tapi tidak khusyuk. Kalau tasawufnya benar, tapi secara fikih tidak benar, maka shalatnya khusyuk tapi tidak benar. Jadi kedua-duanya harus benar, kedua-duanya harus terpenuhi.
Mengapa khusyuk menjadi sangat penting dalam pelaksanaan rukun Islam kedua ini?
Aplikasi seseorang bisa dilihat dari shalat. Nabi Muhammad SAW berkata, banyak orang shalat sebenarnya dia tidak shalat. Arti hadisnya, ''Akan datang satu zaman pada umatku seorang muadzdzin yang mengumandangkan adzan dari dalam masjid mereka datang ke masjid buat shalat berjamaah, takbirnya, iftitah-nya, Fatihah-nya, rukunya, sujudnya, dan shalatnya sama, tapi di hadapan Allah umatku yang shalat ke masjid itu tidak satu pun sebagai hamba yang disebut pantas beriman kepadaku.'' Kenapa demikian? Memang selama ini kita melihat orang yang shalat itu adalah orang yang beriman. Jawabannya ada pada Alquran Surat Al Mukminun dari ayat 1 dan 2: ''Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam sembahyangnya.'' Aplikasinya, selesai shalat diamalkan apa yang dibaca dalam shalat.
Sekarang saya mau tanya: berapa banyak umat Islam yang shalat, waktu shalat takbirnya keras tapi selesai shalat takaburnya juga keras? Berapa banyak umat Islam yang shalat berjamaah di masjid shaf-nya rata tapi sesudah keluar masjid kemudian bercerai berai bahkan saling fitnah? Artinya, dia belum shalat kalau begitu.
Kedua, orang-orang yang tidak senang berkata sia-sia. Berapa banyak para pejabat sekarang yang shalatnya rajin tapi maksiat jalan terus.
Ketiga, orang yang selalu menjaga tubuhnya agar selalu bersih dengan menunaikan zakat. Tapi, berapa banyak umat Islam sekarang waktu shalat dia sebagai Muslim tapi ketika menjadi pegawai, dia menjadi Yahudi?
Keempat, orang-orang yang pandai menjaga kehormatannya. Dalam ajaran Islam orang shalat tapi berzina, dia tidak punya iman. Jadi, tidak mungkin orang beriman, lalu shalat, kemudian melakukan zina. Nah, sekarang orang rata-rata shalat maupun shalat di Kabah mau membersihkan diri kemudian di Indonesia membuat dosa lagi. Buat membersihkan diri dia pergi umrah. Di Masjidil Haram, di depan Kabah menangis tersedu-sedu, begitu keluar Kabah balik ke kondisi semula.
Itu sebabnya, shalluu kamaa ra aytumuuni ushalli (shalatlah seperti kalian melihat aku melakukan shalat). Selama ini kita memperhatikan "jurus" fikihnya saja, 'shalat seperti aku shalat'. Padahal shalatnya nabi itu shalat yang bersih dari kedengkian, shalat untuk mengaplikasikan, shalat untuk menciptakan ukuwah, shalat untuk takarrub ilallah. Masalah-masalah ini yang tidak pernah dibahas.
Sisi fikihnya yang lebih diperhatikan ya?
Ya. Karena apa? Karena memang unsur pelajaran fikih sangat dominan pada saat belajar di waktu muda dulu. Jadi, agama itu kita anggap fikih. Padahal fikih itu ilmu sosial. Dalam hadis di atas, artinya segala aspek yang dilakukan itu mendatangkan kekhusyukan. Kita lihat para sahabat yang shalat di belakang Rasulullah. Andaikata mereka tertebas oleh pedang mereka tidak akan terasa karena sedang shalat. Ali bin Abi Thalib pernah terpanah tangannya oleh orang kafir. Ali meraung-raung karena panah orang kafir itu memang sakit. Kata Umar bin Khaththab supaya tidak sakit panahnya kita cabut waktu Ali sedang shalat.
Bagaimana caranya agar shalat kita menjadi khusyuk?
Di atas segalanya, untuk mendapatkan shalat yang khusyuk, pertama darah dan daging kita tidak boleh terkontaminasi barang haram. Kalau sudah bicara masalah makanan haram, daging yang kita makan haram, minuman yang kita minum haram, lalu shalat menghadap kepada Allah, bagaimana bisa sesuatu yang haram menghadap kepada zat yang Mahasuci? Itu yang menyebabkan shalat kita selama ini tidak pernah khusyuk. Kenapa para ulama yang rezekinya sederhana shalatnya khusyuk? Kenapa para pejabat yang banyak hartanya tidak khusyuk dalam shalat? Mari kita muhasabah.
Semoga Bermanfaat
(PL)
Hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, ''Shalluu kamaa ra-aytummuni ushalli (shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat).''
Sayang, pengertian dari hadis tersebut baru sebatas wilayah fikih saja. Karena berbagai alasan, shalat acapkali hanya sekadar pelepas kewajiban belaka.
''Padahal shalatnya nabi itu adalah shalat yang bersih dari kedengkian, shalat untuk mengaplikasikan dalam hidup, shalat untuk menciptakan ukhkhuwwah, shalat untuk taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah, red),'' kata Pimpinan Pondok Pesantren Modern Lembah Arafah Cisarua, Bogor, KH Anwar Sanusi.
Kepada Republika, kiai yang aktif memberi ceramah agama di layar televisi ini mengingatkan pentingnya pemahaman shalat untuk mencapai kekhusyukan. Berikut ini petikannya:
Menurut definisi Anda, apa yang dimaksud dengan shalat khusyuk?
Khusyuk artinya tertuju, tidak terpecah-pecah. Kalau khusyuk dalam shalat artinya tujuan hidup kita setelah shalat itu hanyalah untuk Allah. Itu sebabnya waktu shalat apa yang kita praktekkan nanti dibaca dalam shalat. Dan Allah menyaksikan. Shalat itu kan apel rutin kita kepada Allah. Konsekuensi kita kepada Islam adalah taslim (penyerahan, red), ya pada waktu shalat itu. Makanya kalau setelah shalat tidak mengamalkan apa yang kita baca berarti shalat apa itu?
Khusyuk dan tidaknya shalat, berada pada wilayah sufi. Bahwa shalat itu ada para wilayah fikih, iya, tapi dia juga masuk dalam wilayah tasawuf.
Kalau yang fikihnya saja benar, tapi yang sebelahnya tidak benar, maka shalatnya benar tapi tidak khusyuk. Kalau tasawufnya benar, tapi secara fikih tidak benar, maka shalatnya khusyuk tapi tidak benar. Jadi kedua-duanya harus benar, kedua-duanya harus terpenuhi.
Mengapa khusyuk menjadi sangat penting dalam pelaksanaan rukun Islam kedua ini?
Aplikasi seseorang bisa dilihat dari shalat. Nabi Muhammad SAW berkata, banyak orang shalat sebenarnya dia tidak shalat. Arti hadisnya, ''Akan datang satu zaman pada umatku seorang muadzdzin yang mengumandangkan adzan dari dalam masjid mereka datang ke masjid buat shalat berjamaah, takbirnya, iftitah-nya, Fatihah-nya, rukunya, sujudnya, dan shalatnya sama, tapi di hadapan Allah umatku yang shalat ke masjid itu tidak satu pun sebagai hamba yang disebut pantas beriman kepadaku.'' Kenapa demikian? Memang selama ini kita melihat orang yang shalat itu adalah orang yang beriman. Jawabannya ada pada Alquran Surat Al Mukminun dari ayat 1 dan 2: ''Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang yang khusyuk dalam sembahyangnya.'' Aplikasinya, selesai shalat diamalkan apa yang dibaca dalam shalat.
Sekarang saya mau tanya: berapa banyak umat Islam yang shalat, waktu shalat takbirnya keras tapi selesai shalat takaburnya juga keras? Berapa banyak umat Islam yang shalat berjamaah di masjid shaf-nya rata tapi sesudah keluar masjid kemudian bercerai berai bahkan saling fitnah? Artinya, dia belum shalat kalau begitu.
Kedua, orang-orang yang tidak senang berkata sia-sia. Berapa banyak para pejabat sekarang yang shalatnya rajin tapi maksiat jalan terus.
Ketiga, orang yang selalu menjaga tubuhnya agar selalu bersih dengan menunaikan zakat. Tapi, berapa banyak umat Islam sekarang waktu shalat dia sebagai Muslim tapi ketika menjadi pegawai, dia menjadi Yahudi?
Keempat, orang-orang yang pandai menjaga kehormatannya. Dalam ajaran Islam orang shalat tapi berzina, dia tidak punya iman. Jadi, tidak mungkin orang beriman, lalu shalat, kemudian melakukan zina. Nah, sekarang orang rata-rata shalat maupun shalat di Kabah mau membersihkan diri kemudian di Indonesia membuat dosa lagi. Buat membersihkan diri dia pergi umrah. Di Masjidil Haram, di depan Kabah menangis tersedu-sedu, begitu keluar Kabah balik ke kondisi semula.
Itu sebabnya, shalluu kamaa ra aytumuuni ushalli (shalatlah seperti kalian melihat aku melakukan shalat). Selama ini kita memperhatikan "jurus" fikihnya saja, 'shalat seperti aku shalat'. Padahal shalatnya nabi itu shalat yang bersih dari kedengkian, shalat untuk mengaplikasikan, shalat untuk menciptakan ukuwah, shalat untuk takarrub ilallah. Masalah-masalah ini yang tidak pernah dibahas.
Sisi fikihnya yang lebih diperhatikan ya?
Ya. Karena apa? Karena memang unsur pelajaran fikih sangat dominan pada saat belajar di waktu muda dulu. Jadi, agama itu kita anggap fikih. Padahal fikih itu ilmu sosial. Dalam hadis di atas, artinya segala aspek yang dilakukan itu mendatangkan kekhusyukan. Kita lihat para sahabat yang shalat di belakang Rasulullah. Andaikata mereka tertebas oleh pedang mereka tidak akan terasa karena sedang shalat. Ali bin Abi Thalib pernah terpanah tangannya oleh orang kafir. Ali meraung-raung karena panah orang kafir itu memang sakit. Kata Umar bin Khaththab supaya tidak sakit panahnya kita cabut waktu Ali sedang shalat.
Bagaimana caranya agar shalat kita menjadi khusyuk?
Di atas segalanya, untuk mendapatkan shalat yang khusyuk, pertama darah dan daging kita tidak boleh terkontaminasi barang haram. Kalau sudah bicara masalah makanan haram, daging yang kita makan haram, minuman yang kita minum haram, lalu shalat menghadap kepada Allah, bagaimana bisa sesuatu yang haram menghadap kepada zat yang Mahasuci? Itu yang menyebabkan shalat kita selama ini tidak pernah khusyuk. Kenapa para ulama yang rezekinya sederhana shalatnya khusyuk? Kenapa para pejabat yang banyak hartanya tidak khusyuk dalam shalat? Mari kita muhasabah.
Semoga Bermanfaat
(PL)
Senin, 12 Oktober 2009
,,,"Motivasi",,,
Gairah adalah salah satu elemen pokok yang meringankan upaya dan mengubah kegiatan-kegiatan yang biasa-biasa saja menjadi suatu pekerjaan yang dapat dinikmati.
Semakin besar “Mengapa” Anda akan semakin besar energi yang mendorong Anda untuk meraih sukses.
Mimpi tidak hanya membantu Anda berhadapan dengan kegagalan, tetapi mereka juga memotivasi Anda secara konstan.
Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.
Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.
Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.
Apakah kita bisa untuk mengemban misi kita? Insya Allah kita bisa, karena Allah Mahatahu, Allah tahu sampai dimana potensi dan kemampuan kita. Jika kita tidak merasa mampu berarti kita belum benar-benar mengoptimalkan potensi kita.
Jika target obsesi itu baik, maka memiliki obsesi bukan hanya baik, tetapi harus. Karena motivasi dari sebuah obsesi sangat kuat.
Untuk menjadi sukses, Anda harus memutuskan dengan tepat apa yang Anda inginkan, tuliskan dan kemudian buatlah sebuah rencana untuk mencapainya.
Bisakah kita meraih sukses yang lebih besar lagi?
Merumuskan Visi dan Misi adalah salah satu bentuk dalam mengambil keputusan, bahkan pengambilan keputusan yang cukup fundamental. Visi dan Misi Anda akan menjiwai segala gerak dan tindakan di masa datang.
Jangan takut dengan gagalnya meraih visi, kegagalan meraih visi sebenarnya bukan suatu kegagalan, tetapi merupakan keberhasilan yang Anda tempuh meski tidak sepenuhnya.
Visi itulah yang akan menuntun perjalanan hidup Anda.
Menciptakan kebiasaan baru adalah salah satu dari kunci sukses. Jika anda ingin sukses Anda harus mulai menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang akan membawa Anda kepada kesuksesan.
Jika Anda ingin menang— dalam bisnis, karir, pendidikan, olah raga, dsb— maka Anda harus memiliki kebiasaan-kebiasaan seorang pemenang pula.
Jika Anda ingin suatu kehidupan yang berbeda, buatlah keputusan yang berbeda juga.
Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Potensial pilihan Anda begitu melimpah, keputusan Anda dapat saja merubah hidup Anda secara dramatis dalam waktu singkat.
Hanya satu motivasi yang ada, yaitu Allah. Adapun motivasi lainnya harus dalam rangka “karena dan/atau untuk” Allah.
(PL)
Semakin besar “Mengapa” Anda akan semakin besar energi yang mendorong Anda untuk meraih sukses.
Mimpi tidak hanya membantu Anda berhadapan dengan kegagalan, tetapi mereka juga memotivasi Anda secara konstan.
Mimpi masa kini adalah kenyataan hari esok.
Anda bisa, jika Anda berpikir bisa, selama akal mengatakan bisa. Batasan apakah sesuatu masuk akal atau tidak, kita lihat saja orang lain, jika orang lain telah melakukannya atau telah mencapai impiannya, maka impian tersebut adalah masuk akal.
Menuliskan tujuan akan sangat membantu dalam menjaga alasan melakukan sesuatu.
Apakah kita bisa untuk mengemban misi kita? Insya Allah kita bisa, karena Allah Mahatahu, Allah tahu sampai dimana potensi dan kemampuan kita. Jika kita tidak merasa mampu berarti kita belum benar-benar mengoptimalkan potensi kita.
Jika target obsesi itu baik, maka memiliki obsesi bukan hanya baik, tetapi harus. Karena motivasi dari sebuah obsesi sangat kuat.
Untuk menjadi sukses, Anda harus memutuskan dengan tepat apa yang Anda inginkan, tuliskan dan kemudian buatlah sebuah rencana untuk mencapainya.
Bisakah kita meraih sukses yang lebih besar lagi?
Merumuskan Visi dan Misi adalah salah satu bentuk dalam mengambil keputusan, bahkan pengambilan keputusan yang cukup fundamental. Visi dan Misi Anda akan menjiwai segala gerak dan tindakan di masa datang.
Jangan takut dengan gagalnya meraih visi, kegagalan meraih visi sebenarnya bukan suatu kegagalan, tetapi merupakan keberhasilan yang Anda tempuh meski tidak sepenuhnya.
Visi itulah yang akan menuntun perjalanan hidup Anda.
Menciptakan kebiasaan baru adalah salah satu dari kunci sukses. Jika anda ingin sukses Anda harus mulai menciptakan kebiasaan-kebiasaan yang akan membawa Anda kepada kesuksesan.
Jika Anda ingin menang— dalam bisnis, karir, pendidikan, olah raga, dsb— maka Anda harus memiliki kebiasaan-kebiasaan seorang pemenang pula.
Jika Anda ingin suatu kehidupan yang berbeda, buatlah keputusan yang berbeda juga.
Tengoklah kembali perjalanan Anda saat ini, akan menuju kemana? Apakah ke arah yang lebih baik, atau ke arah yang lebih buruk, atau tetap saja seperti saat ini? Tetapkanlah sebuah putusan dan jalanilah menuju konsekuensinya.
Potensial pilihan Anda begitu melimpah, keputusan Anda dapat saja merubah hidup Anda secara dramatis dalam waktu singkat.
Hanya satu motivasi yang ada, yaitu Allah. Adapun motivasi lainnya harus dalam rangka “karena dan/atau untuk” Allah.
(PL)
Rabu, 23 September 2009
Hak Suami dalam Islam
Betapa agungnya hakmu terhadapku. Andai ada manusia yang boleh ku bersujud kepadanya, engkaulah yang tertuju, sebuah pengandaian yang kuketahui dari Rasulku. Namun aduhai diri ini, alangkah sesalku… betapa kurangnya memenuhi hakmu. Hanyalah pengampunan Rabbku, kemudian pemaafanmu atas segala celaku… Sebuah pernyataan yang memang semestinya terucap dari lisan seorang istri yang tahu ‘kadar’ seorang suami berikut haknya. Bagaimana tidak, sementara Rasul yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain1niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya2. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”3 (HR. Ahmad 4/381. Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)
Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)
Di antara sekian banyak hak suami, beberapa di antaranya dapat kita rinci berikut ini:
Pertama: Ditaati dalam selain perkara maksiat.
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 4742)
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 1/131, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam syarah dan catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan dishahihkan pula dalam Ash-Shahihah no. 181)
Sehingga bila suami memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti disuruh keluar rumah dengan tabarruj, wajib bagi si istri untuk menolaknya. Bila ia menaati suaminya berarti ia berbuat dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah memerintahkannya bermaksiat.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya adalah adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar suami memberikan ‘pengajaran’ kepada istrinya bila ia enggan untuk taat, dan sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang suami untuk menyakiti istrinya bila si istri taat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)
Ayat di atas menunjukkan, ‘pengajaran’5 diberikan kepada istri dikarenakan ia tidak taat kepada suaminya, yang berarti taat kepada suami itu wajib.
Termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi panggilan suami ke tempat tidur serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak “ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)
Dalam riwayat Muslim (no. 3525) disebutkan dengan lafadz:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Hadits ini merupakan dalil haramnya seorang istri menolak mendatangi tempat tidur suaminya tanpa ada udzur syar’i. Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami karena suami punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat) dengan si istri pada bagian atas izarnya6. Makna hadits di atas adalah laknat terus menerus diterima si istri hingga hilang maksiatnya dengan terbitnya fajar sehingga suami tidak membutuhkannya lagi, atau dengan taubatnya si istri dan kembalinya dia ke tempat tidur.” (Al-Minhaj, 9/249)
Dalam hadits ini pun ada bimbingan kepada istri untuk membantu memenuhi kebutuhan suaminya dan mencari keridhaannya. (Fathul Bari, 9/366)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan, wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya sebatas kemampuannya dalam perkara yang diperintahkan suami, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum lelaki. Sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa`: 34)
Dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan, bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya. (Adabuz Zifaf, hal. 175-176)
Kedua: Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya.Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
Ketiga: Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama dari madzhab kami.” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).
Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena suami memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda. (Al-Minhaj, 7/116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/357)
Keempat: Istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya terkecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 2367)
‘Amr ibnul Ahwash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
Kelima: Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh7.” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir:
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 3623)
Keenam: Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka8.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 2106)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala9, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah diberikan istilah kufur atas perbuatannya. Akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Salah seorang wanita yang hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah, wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menunaikannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Sujud kepada sesama makhluk.
2 Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian berkaitan dengan penuturan Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu’.”
4 Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
5 Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).
6 Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah (maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
7 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
8 Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata dalam syarahnya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu: “Maksud penulis (Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu) membawakan hadits ini (seperti dalam kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan diistilahkan dengan iman, maka demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan dengan kufur. Akan tetapi kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bolehnya memberikan istilah kufur kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya sebagai satu celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 6/213)
9 Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.
لَوْ كُنْتُ آمُرُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةََ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَلاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهَا كُلَّهُ حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا عَلَيْهَا كُلَّهَا حَتَّى لَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَىظَهْرِ قَتَبٍ لَأَعْطَتْهُ إِيَّاهُ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain1niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya2. Dan tidaklah seorang istri dapat menunaikan seluruh hak Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya hingga ia menunaikan seluruh hak suaminya. Sampai-sampai jika suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) sementara ia sedang berada di atas pelana (yang dipasang di atas unta) maka ia harus memberikannya (tidak boleh menolak).”3 (HR. Ahmad 4/381. Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1998 dan Ash-Shahihah no. 3366)
Al-Hushain bin Mihshan rahimahullahu menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya:
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab: “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?” tanya Rasulullah lagi. Ia menjawab: “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah bersabda: “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4/341 dan selainnya, lihat Ash-Shahihah no. 2612)
Di antara sekian banyak hak suami, beberapa di antaranya dapat kita rinci berikut ini:
Pertama: Ditaati dalam selain perkara maksiat.
Suami memiliki hak terhadap istrinya untuk ditaati dalam seluruh perkara asalkan bukan perkara maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 4742)
Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperingatkan:
لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Ahmad 1/131, dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam syarah dan catatan kakinya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad dan dishahihkan pula dalam Ash-Shahihah no. 181)
Sehingga bila suami memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti disuruh keluar rumah dengan tabarruj, wajib bagi si istri untuk menolaknya. Bila ia menaati suaminya berarti ia berbuat dosa sebagaimana suaminya berdosa karena telah memerintahkannya bermaksiat.
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya istri menaati suaminya adalah adanya perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala agar suami memberikan ‘pengajaran’ kepada istrinya bila ia enggan untuk taat, dan sebaliknya Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang seorang suami untuk menyakiti istrinya bila si istri taat kepadanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللاَّتِي تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Dan para istri yang kalian khawatirkan (kalian ketahui dan yakini) nusyuz4nya maka hendaklah kalian menasihati mereka, meninggalkan mereka di tempat tidur, dan memukul mereka. Kemudian jika mereka menaati kalian maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.” (An-Nisa`: 34)
Ayat di atas menunjukkan, ‘pengajaran’5 diberikan kepada istri dikarenakan ia tidak taat kepada suaminya, yang berarti taat kepada suami itu wajib.
Termasuk taat yang wajib ditunaikan kepada suami adalah memenuhi panggilan suami ke tempat tidur serta tidak boleh menolak “hasrat”-nya.
Istri yang menolak “ajakan” suaminya diancam oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتََهُ إِلَى فِِِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak untuk datang maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi.” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 3524)
Dalam riwayat Muslim (no. 3525) disebutkan dengan lafadz:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Hadits ini merupakan dalil haramnya seorang istri menolak mendatangi tempat tidur suaminya tanpa ada udzur syar’i. Dan haid bukanlah udzur untuk menolak panggilan suami karena suami punya hak untuk istimta’ (bermesraan/bernikmat-nikmat) dengan si istri pada bagian atas izarnya6. Makna hadits di atas adalah laknat terus menerus diterima si istri hingga hilang maksiatnya dengan terbitnya fajar sehingga suami tidak membutuhkannya lagi, atau dengan taubatnya si istri dan kembalinya dia ke tempat tidur.” (Al-Minhaj, 9/249)
Dalam hadits ini pun ada bimbingan kepada istri untuk membantu memenuhi kebutuhan suaminya dan mencari keridhaannya. (Fathul Bari, 9/366)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menyatakan, wajib bagi istri untuk taat kepada suaminya sebatas kemampuannya dalam perkara yang diperintahkan suami, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kaum lelaki. Sebagaimana dalam ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (An-Nisa`: 34)
Dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan kaum lelaki memiliki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan, bila ia menaati suaminya atau mendurhakainya. (Adabuz Zifaf, hal. 175-176)
Kedua: Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami.
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya.Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz, bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan hukuman.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32/281)
Ketiga: Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.
Bila seorang istri hendak mengerjakan puasa Ramadhan, ia tidak perlu meminta izin kepada suaminya karena puasa Ramadhan hukumnya wajib, haram ditinggalkan tanpa udzur syar’i. Bila sampai suaminya melarang, ia tidak boleh menaatinya. Karena tidak boleh menaati makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq.
Namun bila si istri hendak puasa sunnah/tathawwu’, ia harus meminta izin kepada suaminya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman. Demikian yang diterangkan dengan jelas oleh kalangan ulama dari madzhab kami.” (Al-Minhaj, 7/116)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/367).
Adapun sebab/alasan pelarangan tersebut, wallahu a’lam, karena suami memiliki hak untuk istimta’ dengan si istri sepanjang hari. Haknya ini wajib untuk segera ditunaikan dan tidak boleh luput penunaiannya karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda. (Al-Minhaj, 7/116)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu mengatakan: “Hadits ini menunjukkan lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah. Karena hak suami itu wajib, sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/357)
Keempat: Istri tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke rumah suami kecuali dengan izinnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal ini dalam sabdanya:
وَلاَ تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya terkecuali dengan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 2367)
‘Amr ibnul Ahwash radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sabda beliau:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائكُِمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih Ibni Majah)
Kelima: Mendapatkan pelayanan (khidmat) dari istrinya.
Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh7.” (HR. Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no. 2727)
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir:
فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا -
“Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5367 dan Muslim no. 3623)
Keenam: Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seselesainya dari Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat:
وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka8.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka pada suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 2106)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap suami di antara sekian dosa lainnya. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan: ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala9, maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya, sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena itulah diberikan istilah kufur atas perbuatannya. Akan tetapi kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau Idul Fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan untuk melaksanakan shalat. Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.” Salah seorang wanita yang hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah, wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menunaikannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Sujud kepada sesama makhluk.
2 Namun tidak dibolehkan bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian berkaitan dengan penuturan Abdullah ibnu Abi Aufa berikut ini: “Ketika Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu datang ke negeri Yaman atau Syam, ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka ia memandang dan memastikan dalam hatinya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu. Sekembalinya ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para panglima dan petinggi gereja mereka. Maka aku memandang dan memastikan dalam hatiku bahwa engkaulah yang paling berhak untuk diagungkan seperti itu’.”
4 Nusyuz ini bisa berupa ucapan atau perbuatan, ataupun kedua-duanya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Nusyuz istri adalah ia tidak menaati suaminya apabila suaminya mengajaknya ke tempat tidur, atau keluar rumah tanpa minta izin kepada suami, dan perkara semisalnya yang seharusnya ia tunaikan sebagai wujud ketaatan kepada suaminya.” (Majmu’ Fatawa, 32/277)
Termasuk nusyuz istri adalah enggan berhias sementara suaminya menginginkannya. Juga meninggalkan kewajiban-kewajiban agama seperti meninggalkan shalat, puasa, haji, dan sebagainya. (An-Nusyuz, Asy-Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan)
5 Dalam wujud diboikot di tempat tidur atau dipukul (yang tidak meninggalkan cacat).
6 Izar bisa kita maknakan dengan kain yang menutupi bagian kemaluan si istri karena hanya bagian ini saja yang diharamkan ketika si istri sedang haid. Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami:
اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“Berbuatlah segala sesuatu (dengan istri kalian) kecuali nikah (maksudkan jangan melakukan jima`).” (HR. Abu Dawud no. 2165, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
7 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil.
8 Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil) yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi rahimahullahu berkata dalam syarahnya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu: “Maksud penulis (Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu) membawakan hadits ini (seperti dalam kitab Al-Iman bab Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa sebagaimana ketaatan diistilahkan dengan iman, maka demikian pula perbuatan maksiat diistilahkan dengan kufur. Akan tetapi kufur yang disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bolehnya memberikan istilah kufur kepada orang yang mengkufuri/mengingkari hak-hak orang lain terhadapnya sebagai satu celaan bagi si pelaku, walaupun ia tidak kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Syarh Shahih Muslim, 6/213)
9 Maksudnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya. Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam hak ini.
Selasa, 15 September 2009
Adab dan Doa Pernikahan
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa)1) berkata kepada sebagian sahabatnya: “Jika isterimu memasuki kamarmu, belailah rambutnya di bagian muka, kemudian menghadaplah bersama-sama ke kiblat, dan bacalah doa:
اًللَّهُمَّ بِأَمَانَتِكَ أَخَذْتُهَا وَبِكَلِمَاتِكَ اِسْتَحْلَلْتُ فَرْجَهَا، فَإِنْ قَضَيْتَ لِي مِنْهَا وَلَدًا فَاجْعَلْهُ مُبَارَكًا سَوِيًّا وَلاَتَجْعَلْ لِلشَّيْطَانِ فِيْهِ شَرِيْكًا وَلاَنَصِيْبًا
Allâhumma biamânatika akhattuhâ, wa bikalimâtika istahlaltu farjahâ, fain qadhayta lî minhâ waladan faj`alhu mubârakan syawiyyâ, walâ taj`al lisysyaythâni fîhi syarîkan walâ nashîbâ.
Ya Allah, dengan amanat-Mu kujadikan ia isteriku dan dengan kalimat-kalimat-Mu dihalalkan bagiku kehormatannya. Jika Kau tetapkan bagiku memiliki keturunan darinya, jadikan keturunanku keberkahan dan kemuliaan, dan jangan jadikan setan ikut serta dan mengambil bagian di dalamnya.
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika kamu hendak membawa isterimu ke rumahmu, sangat dianjurkan ia melakukan shalat sunnah dua rakaat dengan niat mengharap kasih sayang Allah swt. Ketika memasuki kamar hendaknya dalam keadaan berwudhu’, demikian juga Anda (disunnahkan
melakukan shalat sunnah dua rakaat dengan niat yang sama), kemudian bacalah Tahmid dan shalawat, kemudian bacalah doa ini:
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي اَلْفَهَا وَوُدَّهَا وَرِضَاهَا بِي، وَاَرْضِنِي بِهَا، وَاجْمَعْ بَيْنَنَا بِأَحْسَنِ اِجْتِمَاعٍ وَاَيْسَرِ ائْتِلاَفٍ فَإِنَّكَ تُحِبُّ الْحَلاَلَ وَتُكْرِهُ الْحَرَامَ
Allâhummarzuqnî alfahâ wa wuddahâ wa ridhâhâ bî, wa ardhinî bihâ, wajma` baynanâ biahsanijjtimâ`in wa aysari’tilâfin, fainnaka tuhibbul halâla wa tukrihul harâm.
اًللَّهُمَّ بِأَمَانَتِكَ أَخَذْتُهَا وَبِكَلِمَاتِكَ اِسْتَحْلَلْتُ فَرْجَهَا، فَإِنْ قَضَيْتَ لِي مِنْهَا وَلَدًا فَاجْعَلْهُ مُبَارَكًا سَوِيًّا وَلاَتَجْعَلْ لِلشَّيْطَانِ فِيْهِ شَرِيْكًا وَلاَنَصِيْبًا
Allâhumma biamânatika akhattuhâ, wa bikalimâtika istahlaltu farjahâ, fain qadhayta lî minhâ waladan faj`alhu mubârakan syawiyyâ, walâ taj`al lisysyaythâni fîhi syarîkan walâ nashîbâ.
Ya Allah, dengan amanat-Mu kujadikan ia isteriku dan dengan kalimat-kalimat-Mu dihalalkan bagiku kehormatannya. Jika Kau tetapkan bagiku memiliki keturunan darinya, jadikan keturunanku keberkahan dan kemuliaan, dan jangan jadikan setan ikut serta dan mengambil bagian di dalamnya.
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika kamu hendak membawa isterimu ke rumahmu, sangat dianjurkan ia melakukan shalat sunnah dua rakaat dengan niat mengharap kasih sayang Allah swt. Ketika memasuki kamar hendaknya dalam keadaan berwudhu’, demikian juga Anda (disunnahkan
melakukan shalat sunnah dua rakaat dengan niat yang sama), kemudian bacalah Tahmid dan shalawat, kemudian bacalah doa ini:
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي اَلْفَهَا وَوُدَّهَا وَرِضَاهَا بِي، وَاَرْضِنِي بِهَا، وَاجْمَعْ بَيْنَنَا بِأَحْسَنِ اِجْتِمَاعٍ وَاَيْسَرِ ائْتِلاَفٍ فَإِنَّكَ تُحِبُّ الْحَلاَلَ وَتُكْرِهُ الْحَرَامَ
Allâhummarzuqnî alfahâ wa wuddahâ wa ridhâhâ bî, wa ardhinî bihâ, wajma` baynanâ biahsanijjtimâ`in wa aysari’tilâfin, fainnaka tuhibbul halâla wa tukrihul harâm.
Ya Allah, karuniakan padaku kelembutan isteriku, kasih sayang dan ketulusannya, ridhai aku bersamanya. Himpunkan kami dalam rumah tangga yang paling baik, penuh kasih sayang dan kebahagiaan, sesungguhnya Engkau mencintai yang halal dan membenci yang haram.
Ketika Anda hendak melakukan hubungan suami-istri, bacalah doa ini:
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِي وَلَدًا وَاجْعَلْهُ تَقِيًّا ذَكِيًّا لَيْسَ فِي خَلْقِهِ زِيَادَةٌ وَلاَنُقْصَانُ وَاجْعَلْ عَاقِبَتَهُ اِلَى خَيْر
Allâhummarzuqnî waladan, waj`alhu taqiyyan dzakiyyan laysa fî khalqihi ziyâdatun walâ nuqshân, waj`al `âqibatahu ilâ khayrin.
Ya Allah, karuniakan padaku keturunan, dan jadikan ia anak yang bertakwa dan cerdas, tidak ada kelebihan dan kekurangan dalam fisiknya, dan jadikan kesudahannya pada kebaikan. (Kitab Makarimul Akhlaq: 209)
1). Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) adalah salah seorang cucu Rasulullah saw yang paling alim di zamannya. Beliau putera Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib (sa)
Catatan: Sebagai tambahan sebaiknya juga memperhatikan waktu dan cara berhubungan suami-isteri, karena hal ini berpengaruh pada mental anak, bahkan kesempurnaan fisiknya. Silahkan baca Artikel “Adab dan Etika hubungan suami-isteri.
Kamis, 15 Januari 2009
,,,~"Hak Istri dalam Islam"~,,,
Banyak fakta tak terbantahkan bahwa hak-hak istri sering kali diabaikan oleh para suami. Padahal jika kita runut, percikan konflik dalam rumah tangga berakar dari diabaikannya hak-hak istri/suami oleh pasangan mereka. Lalu apa saja hak-hak istri yang mesti ditunaikan suami?
Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)
Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)
Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian.
Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:
1. Mendapat maharDalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)
Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:
انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا
“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)
2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak muliaAllah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
3. Mendapat nafkah dan pakaianHak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا
سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama). Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggalTermasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19) adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.
5. Wajib berbuat adil di antara para istri. Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا
“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314). Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)
Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312). Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312). Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433). Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)
6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agamaSeorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6).
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781).
Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:
ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)
Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)
7. Menaruh rasa cemburu kepadanyaSeorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4). Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)
Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:
:: Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
:: Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 31)
:: Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)
:: Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)
:: Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak. Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.
Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
catatan kaki:
1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?”“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–,” jawabnya.“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”
3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).
4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)
6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”
7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)
8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)
12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)
13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan nabi.
Semoga Bermanfaat.
Dalam kitab mulia yang tidak dapat disusupi kebatilan sedikit pun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi rahimahullahu menyatakan dalam tafsir ayat di atas bahwa para istri memiliki hak terhadap suaminya sebagaimana suami memiliki hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/Tafsir Al-Qurthubi, 3/82)
Karena itulah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Aku senang berhias untuk istriku sebagaimana aku senang bila ia berdandan untukku, karena Allah yang Maha Tinggi sebutan-Nya berfirman:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Adh-Dhahhak rahimahullahu berkata menafsirkan ayat di atas, “Apabila para istri menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati suami-suami mereka, maka wajib bagi suami untuk membaguskan pergaulannya dengan istrinya, menahan dari memberikan gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya.” (Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 2/466)
Al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya, “Para istri memiliki hak-hak yang harus dipenuhi oleh suami-suami mereka seimbang dengan kewajiban-kewajiban mereka terhadap suami-suami mereka, baik itu yang wajib maupun yang mustahab. Dan masalah pemenuhan hak suami istri ini kembalinya kepada yang ma’ruf (yang dikenali), yaitu kebiasaan yang berlangsung di negeri masing-masing (tempat suami istri tinggal) dan sesuai dengan zaman.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 102)
Hakim bin Mu’awiyah meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya, Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu. Ayahnya ini berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟
“Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
“Engkau beri makan istrimu apabila engkau makan, dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian.
Janganlah engkau memukul wajahnya, jangan menjelekkannya1, dan jangan memboikotnya (mendiamkannya) kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2142 dan selainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/86)
Ketika haji Wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan manusia. Di antara isi khutbah beliau adalah:
أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk memasuki rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dari ayat di atas berikut beberapa penafsirannya serta dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kita memahami bahwa dalam Islam, kedudukan seorang istri dimuliakan dan diberi hak-hak yang harus dipenuhi oleh pasangan hidupnya. Hal ini termasuk kebaikan agama ini yang memang datang dengan keadilan, di mana wanita tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya namun juga diberikan hak-hak yang seimbang.Dalam rubrik Mengayuh Biduk kali ini, kami sengaja mengangkat pembahasan tentang hak istri sebagai pengajaran kepada mereka yang belum tahu dan sebagai penyegaran ilmu kepada mereka yang sudah tahu. Setelah selesai membahas hak istri, kami akan lanjutkan pembahasan tentang hak suami dalam edisi mendatang, Insya Allah. Mungkin terlontar tanya, kenapa hak istri lebih dahulu dibahas daripada hak suami? Kami jawab, memang semestinya hak suami lebih dahulu dibicarakan daripada hak istri bahkan hak suami harus dikedepankan. Namun karena tujuan kami adalah ingin menunjukkan pemuliaan Islam kepada kaum wanita dan bagaimana Islam memerhatikan hak-hak wanita, maka kami pun mendahulukan pembicaraan tentang hak istri, tanpa mengurangi penyunjungan kami terhadap hak suami. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.Ada beberapa hak yang dimiliki seorang istri terhadap suaminya, di antaranya:
1. Mendapat maharDalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)
فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
“…berikanlah kepada mereka (istri-istri kalian) maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban.” (An-Nisa`: 24)
Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:
انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ“Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Kaum muslimin (ulamanya) telah sepakat tentang disyariatkannya mahar dalam pernikahan.” (Al-Mughni, Kitab Ash-Shadaq)
Mahar merupakan milik pribadi si wanita. Ia boleh menggunakan dan memanfaatkannya sekehendaknya dalam batasan yang diperkenankan syariat. Adapun orang lain, baik ayahnya, saudara laki-lakinya, suaminya, atau selain mereka, tidak boleh menguasai mahar tersebut tanpa keridhaan si wanita. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلاَ تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُوْنَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِيْنًا
“Dan jika kalian ingin mengganti salah seorang istri dengan istri yang lain3, sedangkan kalian telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka (istri tersebut) harta yang banyak4, maka janganlah kalian mengambil kembali dari harta tersebut walaupun sedikit. Apakah kalian akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata?” (An-Nisa`: 20)
2. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak muliaAllah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
3. Mendapat nafkah dan pakaianHak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:
وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)
Demikian pula firman-Nya:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)
Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu datang mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أَبَا
سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِي مَا يَكْفِيْنِي وَوَلَدِي إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ. فَقَالَ: خُذِي مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit5. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:
أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلاَّ أَنْ يَأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً، أَلاَ إِنَ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوْطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُوْنَ، وَلاَ يَأْذَنَّ فِي بُيُوْتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُوْنَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوْا إِلَيْهِنَّ فيِ كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ
“Ketahuilah, berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)7 karena mereka hanyalah tawanan di sisi (di tangan) kalian. Kalian tidak menguasai mereka sedikitpun kecuali hanya itu8, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata9. Maka bila mereka melakukan hal itu, boikotlah mereka di tempat tidurnya dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras. Namun bila mereka menaati kalian, tidak ada jalan bagi kalian untuk menyakiti mereka. Ketahuilah, kalian memiliki hak terhadap istri-istri kalian dan mereka pun memiliki hak terhadap kalian. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seorang yang kalian benci untuk menginjak permadani kalian dan mereka tidak boleh mengizinkan orang yang kalian benci untuk masuk ke rumah kalian. Sedangkan hak mereka terhadap kalian adalah kalian berbuat baik terhadap mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi no. 1173 dan Ibnu Majah no. 1841, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)
Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama). Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)
4. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggalTermasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19) adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.
5. Wajib berbuat adil di antara para istri. Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُوْلُوا
“…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)
Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu menyatakan, datangnya si suami dalam keadaan seperti yang digambarkan dalam hadits disebabkan ia tidak berlaku adil di antara dua istrinya, menunjukkan berlaku adil itu wajib. Kalau tidak wajib niscaya seorang suami tidak akan dihukum seperti itu. (As-Sailul Jarar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada`iqil Azhar, 2/314). Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)
Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullahu berkata, “Kalian, wahai para suami, tidak akan mampu menyamakan di antara istri-istri kalian dalam hal rasa cinta di hati kalian kepada mereka, sampai pun kalian berusaha adil dalam hal itu. Karena hati kalian tidak bisa mencintai sebagian mereka sama dengan yang lain. Perkaranya di luar kemampuan kalian. Urusan hati bukanlah berada di bawah pengaturan kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat adil di antara mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312). Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312). Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Al-Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433). Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)
6. Dibantu untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjaganya dari api neraka dan memberikan pengajaran agamaSeorang suami harus mengajarkan perkara agama kepada istrinya, terlebih lagi bila istrinya belum mendapatkan pengajaran agama yang mencukupi, dimulai dari meluruskan tauhidnya dan mengajarkan amalan-amalan ibadah yang lainnya. Sama saja baik si suami mengajarinya sendiri atau membawanya ke majelis ilmu, atau dengan cara yang lain.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu….” (At-Tahrim: 6).
Menjaga keluarga yang dimaksud dalam ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari, memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya. Seorang suami wajib mengajari keluarganya tentang perkara yang di-fardhu-kan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila ia mendapati mereka berbuat maksiat, segera dinasihati dan diperingatkan. (Tafsir Ath-Thabari, 12/156, 157 dan Ruhul Ma’ani, 138/780,781).
Hadits Malik ibnul Huwairits radhiyallahu ‘anhu juga menjadi dalil pengajaran terhadap istri. Malik berkata, “Kami mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu kami adalah anak-anak muda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau di kota Madinah selama sepuluh malam. Kami mendapati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang penyayang lagi lembut. Saat sepuluh malam hampir berlalu, beliau menduga kami telah merindukan keluarga kami karena sekian lama berpisah dengan mereka. Beliau pun bertanya tentang keluarga kami, maka cerita tentang mereka pun meluncur dari lisan kami. Setelahnya beliau bersabda:
ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ وَمُرُوْهُمْ
“Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta perintahkanlah mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 630 dan Muslim no. 1533)
Seorang suami harus menegakkan peraturan kepada istrinya agar si istri berpegang dengan adab-adab yang diajarkan dalam Islam. Si istri dilarang bertabarruj, ikhtilath, dan keluar rumah dengan memakai wangi-wangian, karena semua itu akan menjatuhkannya ke dalam fitnah. Apatah lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ رُؤُوْسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang keduanya belum pernah aku lihat, pertama: satu kaum yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi yang dengannya mereka memukul manusia. Kedua: para wanita yang berpakaian tapi telanjang, mereka menyimpangkan lagi menyelewengkan orang dari kebenaran. Kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang miring/condong. Mereka ini tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga, padahal wangi surga sudah tercium dari jarak perjalanan sejauh ini dan itu.” (HR. Muslim no. 5547)
7. Menaruh rasa cemburu kepadanyaSeorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:
لَوْ رَأَيْتُ رَجُلاً مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفِحٍ
“Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْدٍ؟ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:
وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ
“Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4). Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”Mendengar ucapan Sa’d, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai sekalian orang-orang Anshar, tidakkah kalian mendengar apa yang diucapkan oleh pemimpin kalian?”Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”Sa’d berkata: “Demi Allah, sungguh aku tahu wahai Rasulullah bahwa ayat ini benar dan datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi aku cuma heran.” (Fathul Bari, 9/348)
Islam telah memberikan aturan yang lurus berkenaan dengan penjagaan terhadap rasa cemburu ini dengan:
:: Memerintahkan kepada wanita untuk berhijab. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيْبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ
وَكَانَ اللهُ غَفُوْرًا رَحِيْمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Yang demikian itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)
:: Memerintahkan wanita untuk menundukkan pandangan matanya dari memandang laki-laki yang bukan mahramnya:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah: ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka…’.” (An-Nur: 31)
:: Tidak membolehkan wanita menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami dan laki-laki dari kalangan mahramnya.
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُوْلَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
“… janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita.” (An-Nur: 31)
:: Tidak membiarkannya bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلَى النِّسَاءِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk ke tempat para wanita.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu dengan ipar12?” Beliau menjawab, “Ipar itu maut13.” (HR. Al-Bukhari no. 5232 dan Muslim no. 5638)
:: Tidak memperhadapkannya kepada fitnah, seperti bepergian meninggalkannya dalam waktu yang lama atau menempatkannya di lingkungan yang rusak. Seorang suami hendaklah memerhatikan perkara-perkara di atas agar ia dapat menjaga kehormatan istrinya sebagai bentuk kecemburuannya kepada si istri.
Demikianlah… Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
catatan kaki:
1 Maksudnya: mengucapkan kepada istri ucapan yang buruk, mencaci makinya, atau mengatakan padanya, “Semoga Allah menjelekkanmu”, atau yang semisalnya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha)
2 Secara lengkap haditsnya dibawakan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengangkat pandangannya kepada wanita tersebut untuk mengamatinya, kemudian beliau menundukkan kepalanya. Ketika si wanita melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memutuskan apa-apa dalam perkara dirinya, ia duduk.Berdirilah seorang lelaki dari kalangan shahabat beliau lalu berkata, “Wahai Rasulullah, bila engkau tidak berminat kepadanya maka nikahkanlah aku dengannya.” Rasulullah balik bertanya, “Apa engkau memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?”“Tidak ada, demi Allah, wahai Rasulullah,” jawab si lelaki. “Pergilah kepada keluargamu, lalu lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” titah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Laki-laki itu pun pergi. Tak berapa lama kemudian ia kembali seraya berkata, “Aku tidak mendapatkan apa-apa, demi Allah.” Rasulullah bersabda, “Lihatlah dan carilah walau hanya sebuah cincin dari besi.”Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali lalu berkata, “Tidak ada, demi Allah wahai Rasulullah, walaupun cincin dari besi. Tapi ini ada izarku (kain penutup tubuh, –pent.), setengahnya sebagai mahar untuknya –kata Sahl, “(Sementara) laki-laki itu tidak memiliki rida` (pakaian, sejenis mantel, jubah, atau gamis –pent.)”-. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan izarmu? Kalau engkau pakai berarti ia tidak mengenakan sedikitpun dari izar ini, sebaliknya kalau ia yang pakai berarti engkau tidak dapat menggunakannya sedikitpun.”Si lelaki terduduk. Ketika telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat ia pergi, maka beliau menyuruh orang untuk memanggilnya. Ketika si lelaki telah berada di hadapan beliau, beliau bertanya, “Apa yang engkau hapal dari Al-Qur`an?” “Aku hapal surah ini, surah itu –ia menyebut beberapa surah–,” jawabnya.“Apakah engkau hapal surah-surah tersebut dari hatimu (di luar kepala, –pent.)?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. “Iya,” jawabnya. “Kalau begitu pergilah, aku telah nikahkan engkau dengan si wanita dengan mahar surah-surah Al-Qur`an yang engkau hapal.”
3 Maksudnya: menceraikan seorang istri dan menggantikan posisinya dengan istri yang baru (menikah lagi).
4 Kalian tidak boleh mengambil mahar yang telah kalian berikan kepadanya, walaupun pemberian kalian itu berupa harta yang sangat banyak. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
5 Hindun tidaklah menyatakan bahwa Abu Sufyan bersifat pelit dalam seluruh keadaannya. Dia hanya sebatas menyebutkan keadaannya bersama suaminya di mana suaminya sangat menyempitkan nafkah untuknya dan untuk anaknya. Hal ini tidaklah berarti Abu Sufyan memiliki sifat pelit secara mutlak. Karena betapa banyak di antara para tokoh/ pemuka masyarakat melakukan hal tersebut kepada istrinya/keluarganya dan lebih mendahulukan/mementingkan orang lain (bersifat dermawan kepada orang lain). (Fathul Bari, 9/630)
6 Dalam riwayat Muslim, Hindun bertanya:
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟
“Apakah aku berdosa bila melakukan hal itu?”
7 Al-Qadhi berkata: “Al-Istisha’ adalah menerima wasiat. Maka, makna ucapan Nabi ini adalah ‘aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri, maka terimalah wasiatku ini’.” (Tuhfatul Ahwadzi)
8 Maksudnya selain istimta’ (bercumbu dengannya), menjaga diri untuk suaminya, menjaga harta suami dan anaknya, serta menunaikan kebutuhan suami dan melayaninya. (Bahjatun Nazhirin, 1/361)
9 Seperti nusyuz, buruknya pergaulan dengan suami dan tidak menjaga kehormatan diri. (Tuhfatul Ahwadzi)
10 Misalnya ia punya dua istri. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)
11 Sa’d memaksudkan ia akan memukul laki-laki itu dengan bagian pedang yang tajam bukan dengan bagian yang tumpulnya. Orang yang memukul dengan bagian pedang yang tajam berarti bermaksud membunuh orang yang dipukulnya. Beda halnya kalau ia memukul dengan bagian yang tumpul, tujuannya berarti bukan untuk membunuh tapi untuk ta`dib (memberi pengajaran agar jera). (Fathul Bari, 9/298)
12 Atau kerabat suami lainnya. (Al-Minhaj, 14/378)
13 Ipar dikatakan maut, maknanya kekhawatiran terhadapnya lebih besar daripada kekhawatiran dari orang lain yang bukan kerabat. Kejelekan dan fitnah lebih mungkin terjadi dalam hubungan dengan ipar, karena ipar biasanya bebas keluar masuk menemui si wanita dan berduaan dengannya tanpa ada pengingkaran, karena dianggap keluarga sendiri/saudara. Beda halnya dengan ajnabi (lak-laki yang bukan kerabat).Yang dimaksud dengan al-hamwu di sini adalah kerabat suami selain ayah dan anak laki-laki suami, karena dua yang disebutkan terakhir ini merupakan mahram bagi si wanita hingga mereka boleh berduaan dengan si wanita dan tidak disifati dengan maut.Adapun yang disifati dengan maut adalah saudara laki-laki suami, keponakan laki-laki suami, paman suami, dan anak paman suami serta selain mereka yang bukan mahram si wanita (dari kalangan kerabat suami). Kebiasaan yang ada di kalangan orang-orang, mereka bermudah-mudahan dalam hal ini sehingga ipar dianggap biasa bila berduaan dengan istri saudaranya. Inilah maut, dan yang seperti ini lebih utama untuk disebutkan pelarangannya daripada pelarangan dengan nabi.
Semoga Bermanfaat.
Senin, 12 Januari 2009
Jejak terlangkah menyusuri bumi
Menapaki hidup yang puneh misteri
Menatap langit yang masih setia memayungi
Dan angin yang selalu memberi kesejukan
Q masih disini
kadang lesu namun coba bertahan
Dengan sisa kekuatan Q tegas berjalan
Karena kuasaNya Q mampu berlari
Mengejar mimpi yang tertunda
Karena hampir tenggelam dalam luapan masalah
Q sedih,,
Q bahagia,,
Cobaan kan tetap ada
Kasih sang pencipta selalu menciptakan semangat
Pohon-pohon yang terus memberi keteduhan
Bersama aliran air, mengajarkan hidup Optimis
Kesetiakawanan semu tuk selalu berbagi
Sahabat setia yang menemani
Inilah kasih yang tiada sia
Karena Ia maha Tahu
Tak perlu sesal
Hanya perlu mengkoreksi diri
Tetap tegar berdiri
Sabar dan Do`a dihati
Adalah kekuatan tuk bangkit lagi,,
Menapaki hidup yang puneh misteri
Menatap langit yang masih setia memayungi
Dan angin yang selalu memberi kesejukan
Q masih disini
kadang lesu namun coba bertahan
Dengan sisa kekuatan Q tegas berjalan
Karena kuasaNya Q mampu berlari
Mengejar mimpi yang tertunda
Karena hampir tenggelam dalam luapan masalah
Q sedih,,
Q bahagia,,
Cobaan kan tetap ada
Kasih sang pencipta selalu menciptakan semangat
Pohon-pohon yang terus memberi keteduhan
Bersama aliran air, mengajarkan hidup Optimis
Kesetiakawanan semu tuk selalu berbagi
Sahabat setia yang menemani
Inilah kasih yang tiada sia
Karena Ia maha Tahu
Tak perlu sesal
Hanya perlu mengkoreksi diri
Tetap tegar berdiri
Sabar dan Do`a dihati
Adalah kekuatan tuk bangkit lagi,,
Langganan:
Postingan (Atom)